MENYELAMI MAKNA “KUTIBA ‘ALAIKUM” PUASA

MENYELAMI MAKNA “KUTIBA ‘ALAIKUM” PUASA
(Seri Tafsir Ayat-ayat Ramadhan)
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

Kekuatan susunan ayat Al-Qur’an sangat terasa di penggalan kedua ayat 183 dari surah al-Baqarah ini. Tangan saya sempat gemetar ketika hendak menuliskannya. Takjub. Tak terlukiskan kata-kata. Setelah membangunkan iman yang tertidur dengan kalimat “ya ayyuhalladzina amanu,” Allah menyatakan:

كتب عليكم الصيام
“Diwajibkan atas kamu berpuasa.”

Yang dimaksud “Kamu” atau “Kalian,” pada ayat ini, adalah orang-orang yang beriman yang dipanggil pada penggalan sebelumnya. Kata ganti “Kamu,” dalam diskursus Ilmu Nahwu, disebut Dhamir Mukhathab (Orang Kedua). Imam Ibn Malik (w. 672 H.), dalam Alfiyyah-nya, yaitu pada “Bab al-Nakirah wa al-Ma’rifah” bait ketiga, menamakan Mukhathab, juga Mutakallim (Orang Pertama), dengan Dzi Hudhur (Hadir). Berikut baitnya:

وما لذي غيبة أو (حضور)  +  فهو الذي سمي بالضمير

Perhatikan kosakata yang saya beri tanda kurung di atas. Terlihat penggunaan term Hudhur (حضور) untuk selain kata ganti Ghaib (Orang Ketiga). Term Hudhur, selain untuk mengimbangi term Ghaib yang berarti Tidak Hadir, menunjukan bahwa bangunan Nahwu yang dibuat Ibn Malik tak hanya untuk struktur kata dan kalimat, tapi juga untuk struktur makna sebagai perpanjangan dari penyempurnaan teori Balaghah Imam al-Sakaki (w. 626 H.) dalam kitab Miftah al-‘Ulum. Yakni, struktur lafazh yang dibangun Ilmu Nahwu dan Sharaf adalah untuk struktur makna yang dibangun Ilmu Balaghah. Termasuk dalam term-term-nya. Oleh karenanya, term Hudhur, sekali lagi, tak dibuat kecuali untuk memproduksi makna.

Tidak ada kata dan kalimat yang strukturnya sangat sempurna seperti Al-Qur’an, terlebih struktur maknanya. Menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengerti Nahwu, Sharaf, dan Balaghah tampaknya jauh untuk sampai kepada bagian makna yang dikandungnya. Apalagi merasakan kemukjizatannya. Imam al-Sakaki mengatakan:

الويل كل الويل لمن تعاطى تفسير القرآن وهو فيهما راجل
“Celaka, sepenuhnya celaka, orang yang menafsirkan Al-Qur’an sementara pengetahuannya kepada kedua disiplin ilmu ini (Ma’ani dan Bayan) sangat dangkal.”

Kata “Kamu,” pada ayat ini, karena menunjuk pada makna Hudhur (hadir), selain ditekan redaksi Nida (panggilan) pada penggalan sebelumnya, menggambarkan “kehadiran” Allah sebagai Mutakallim (yang memanggil) bersama mereka sebagai Mukhathab (yang dipanggil). Yakni, ada keakraban antara Allah Swt sebagai pemanggil dengan orang-orang mukmin sebagai yang dipanggil. Allah mengajak mereka ngobrol. Dalam kehidupan nyata, setelah memanggil, bisa saja yang dipanggil tidak menyahut dan tidak bersegera mendekat kepada yang memanggil, atau bahkan acuh tak acuh, cuek seakan-akan tidak ada yang memanggil, maka, bisa jadi, dalam kondisi seperti itu, yang memanggil menjadi kesal, dan pesan pun tidak jadi disampaikan. Tapi, lain halnya dengan Allah, andai yang dipanggil menjauh, maka Dia tetap mendekat dengan kasih sayang-Nya sambil mengatakan: “Kamu.” Sangat dekat.

Gambaran kedekatan di atas, terlihat dari pemilihan kata “kutiba ‘ala (كتب على)” untuk makna diwajibkan. Apa hubungannya “kutiba” dengan kedekatan Allah? Nah, di sini, metode yang paling tepat adalah menafsirkan ayat dengan ayat dengan terlebih dahulu menemukan hubungan antar ayat. Karena ayat tidak akan dapat menafsirkan ayat yang lain kalau belum ditemukan hubungannya. Dan, hubungan antar ayat ini hanya dapat ketahui dengan memahami Balaghah Al-Qur’an.

Banyak sekali, dalam Al-Qur’an, kosakata yang tersusun dari huruf Kaf (ك), Ta (ت), dan Ba (ب). Tapi yang mengandung arti mewajibkan atau diwajibkan hanya “kataba (كتب)” yang setelahnya diikuti kata ‘ala (على). Di satu tempat, ada yang kata ‘ala (على)-nya tidak disebutkan, namun, jadinya, pengertiannya tak lagi mewajibkan, tapi kewajiban, yaitu “kitaban mauquta (كتابا موقوتا),” surah al-Nisa  ayat 103, tentang shalat. Bedanya “kataba” (كتب) dengan “faradha” (فرض) dan “aujaba” (أوجب), padahal sama-sama berarti mewajibkan, adalah “katab” (كتب) digunakan pula ketika Allah Swt. “mewajibkan” sesuatu pada diri-Nya. Dan, dalam Al-Qur’an, hanya ada satu yang, dalam tanda kutip, wajib bagi Allah, yaitu rahmat, kasih sayang. Allah Swt. berfirman:

كتب على نفسه الرحمة
(Allah) mewajibkan (menetapkan) pada diri-Nya (untuk memberikan) kasih sayang (QS al-An’am, 54)

Yakni, kalau bahasa manusia-nya, Allah itu punya tanggungan, punya kewajiban. Yaitu memberikan rahmat. Kepada siapa? Ya, tentu, kepada siapa saja. Tapi, terlihat, bahwa, ketika Allah mewajibkan sesuatu kepada kita dengan menggunakan kata “kataba” (كتب),  maka, Allah “mewajibkan” diri-Nya memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya di balik kewajiban tersebut. Seakan-akan berfirman: “Diwajibkan berpuasa kepadamu, karena Aku telah mewajibkan pada diri-Ku memberikan rahmat kepadamu.”

Di sini, terlihat rahasia mengapa redaksinya “kutiba,” bukan “kataba” seperti ketika Allah mewajibkan kepada diri-Nya. Redaksi “kutiba” disebut Fi’il Mabni Maf’ul (Kata Kerja Pasif). Banyak yang menyebutnya dengan Majhul, artinya, kata kerja yang tidak diketahui subjeknya, karena, subjek pada Kata Kerja Pasif, pada mulanya, adalah objek. Tapi sebutan Majhul tidak tepat apabila subjeknya Allah seperti pada kata “kutiba” di sini, karena Allah tidak Majhul, selalu diketahui keberadaannya meski dalam Kata Kerja Pasif. Nah, pasifnya “kutiba” bukan karena Allah Majhul, atau tidak dekat. Justru menunjukan sangat dekat dengan rahmat-Nya. Saking dekatnya rahmat itu, sampai ketika mewajibkan puasa, kata mewajibkan, yakni “kutiba,” dipasifkan, seakan-akan yang mewajibkannya bukan Allah. Hal ini, karena kewajiban, secara umum, identik dengan beban yang memberatkan, sedang yang dikehendaki dari kewajiban puasa adalah rahmat yang membahagiakan dan meringankan beban. Berbeda dengan ketika mewajibkan atas diri-Nya sendiri,Allah menyatakan dirinya sebagai pemberi kewajiban itu. Karenanya, setelah kata ‘ala (على) diikuti kata “nafs” (نفس) sebelum sampai ke-dhamir (ه) yang kembali kepada Allah. Seakan Allah mengatakan: “Biar beban itu hanya untuk diri-Ku.”

Selain puasa, yang diwajibkan dengan menggunakan kata “kutiba” adalah Qishash (QS al-Baqarah: 78), Wasiat (QS al-Baqarah: 80), dan Perang (QS- al-Baqarah: 216). Ini, karena ketiganya, sama halnya dengan puasa, diwajibkan sebagai bukti dekatnya rahmat Allah. Oleh karenanya, dalam Qishash, dijelaskan cara memaafkan, dijelaskan pula bahwa di dalam Qishash ada kehidupan. Demikian pula dalam Wasiat dan Perang. Disyari’atkan untuk kehidupan. Ketika membicarakan Wasiat, Allah menyebut harta dengan khair (خيرا), karena kewajiban Wasiat berkaitan dengan makna rahmat dalam “kutiba.” Demikian pula, ketika mewajibkan Perang, Allah mengatakan “… bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu padahal sesuatu itu buruk bagimu.”

Dekatnya rahmat Allah dalam kewajiban puasa membuka rahasia mengapa puasa yang wajib tersebut jatuh di bulan Ramadhan? Hal ini tak lain karena kewajiban puasa adalah kewajiban yang “kutiba,” kewajiban kasih sayang, sedang bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, sementara Al-Qur’an tak lain adalah perwujudan rahmat Allah yang paling besar sebagaimana firman-Nya:

الرحمن، علم القرآن
Yang Mahapengasih, mengajarkan Al-Qur’an (QS al-Rahman: 1-2)

Al-Rahman adalah nama Allah yang menggambarkan kemahaan Allah dalam memberikan rahmat-Nya, atau nikmat-Nya yang besar-besar. Dan, rahmat Allah yang paling besar, yang diberikan kepada manusia, adalah ta’lim Al-Qur’an. Bertemunya kewajiban puasa dengan bulan diturunkannya Al-Qur’an, dan dengan Al-Qur’an sendiri, berarti bertemunya tiga rahmat Allah sekaligus dalam satu waktu. Oleh karenanya, terjawab lagi, mengapa hidayah Al-Qur’an di bulan Ramadhan adalah li al-Nas (للناس), bukan lil muttaqin (للمتقين), karena sedang menampilkan Al-Qur’an sebagai perwujudan dari rahmat Allah sebagai al-Rahman,  Mahapengasih, Pemberi nikmat besar yang diberikan kepada semua manusia tanpa dibeda-bedakan, baik yang taat maupun yang tidak taat. Seakan-akan di bulan Ramadhan ini, dengan puasanya, Allah tengah menyapa manusia, “hidayah Al-Qur’an manakah yang kamu dustakan.”

Dekatnya rahmat Allah dalam kewajiban puasa sebagai kewajiban yang “kutiba” bersesuaian pula dengan penutup ayat ini, yaitu “la’allakum tattaqun” (لعلكم تتقون). Karena, berdasarkan surah Ali Imran ayat 34, di antara ciri-ciri muttaqin adalah lahirnya perbuatan ihsan, yaitu berinfaq saat lapang dan sempit, menahan marah, memaafkan orang yang menyakitinya, bahkan membalasnya dengan yang lebih baik. Mereka disebut muhsinin, yaitu orang-orang yang sudah bisa beribadah seolah-oleh melihat Allah, atau yakin sedang dilihat Allah. Puasa Ramadhan sebagai kewajiban yang “kutiba,” yang dekat dengan rahmat Allah, mampu membentuk karakter muhsinin. Oleh karenanya, Allah berfirman:

إن رحمة الله قريب من المحسنين
Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dari orang-orang yang muhsin.

Karakter muhsinin ini yang menyebabkan Rasulullah Saw di bulan Ramadhan, selain berpuasa dan membaca Al-Quran, lebih banyak bersedekah. Dalam hadits al-Bukhari disebutkan, sedekah Rasulullah Saw di bulan Ramadhan lebih cepat dari angin yang berhembus, atau lebih murah dari angin yang menggiring awan untuk hujan. Amaliah Ramadhan selain puasa sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat dilukiskan pula dengan kata “kataba” (كتب). Yaitu, penggalan surah al-Baqarah ayat 187 setelah menghalalkan berhubungan suami-istri di malam bulan Ramadhan:

وابتغوا ما كتب الله لكم
…Dan carilah apa yang telah tetapkan untukmu.

Ma (ما) pada ayat di atas menunjuk pada banyak hal yang diperintahkan Allah secara umum, juga secara khusus pada malam bulan Ramadhan, yaitu Qiyamullail, termasuk Tarawih, membaca Al-Quran, I’tikaf, sedekah, dan lain sebagainya. Di sini, kataba dibaca aktif, yakni “kataba” (كتب), bukan “kutiba” (كتب), subjeknya pun ditampilkan, yaitu Lafazh Jalalah (الله). Hal ini karena ketiadaan ‘ala (على) setelahnya, melainkan lam (ل). Yakni, ada lakum (لكم) yang identik dengan keringanan dan kemanfaatan, bukan ‘alaikum (عليكم) yang identik dengan beban. Tampilnya subjek menambah keagungan dan kemanfaatan tersebut, yakni sangat penting untuk kebaikan, tapi tidak wajib hingga menjadi beban. Dengan keberadaan lam (ل), “kataba” pun tak berarti wajib lagi, tapi menetapkan, atau memerintahkan tanpa mewajibkan.

Mengingat kuatnya makna kedekatan dengan Allah dalam “kataba,” Nabi Musa menginginkan kebaikan di dunia dan akhirat dengan berdoa kepada Allah Swt menggunakan kata kataba:

واكتب لنا في هذه الدنيا حسنة وفي الآخرة
Dan tetapkan untuk kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat. (QS al-A’raf, 156)

Demikian Nabi Musa. Kalau Umat Nabi Muhammad, tanpa berdoa seperti Nabi Musa pun, apalagi ditambah doa, Allah Swt sudah mengatakan “kutiba ‘alaikum.” Karena, kalau sudah “kutiba alaikum,” pasti di situ ada “hasanah fiddunya” dan “hasanah fil akhirat” yang dipinta. Juga, “ma kataba”-nya pun sudah ada, tinggal mengerjakannya, mencarinya (وابتغوا).

Demikian kedalaman makna “kutiba alaikum” yang bisa saya kemukakan. Tentu apa yang saya tulis hanya secuil, atau bahkan secuil pun tidak, dari makna tersebut. Belum lagi kemungkinan keliru selalu terbuka. Tapi saya yakin, rahmat Allah begitu dekat kepada saya, kepada kita, di balik kitabah (tulisan) tentang “kutiba.” Insyaallah, nanti, pembahasan seputar shiyam digabung dengan “kama kutiba ‘alalladzin min qablikum.”

Wallahu A’lam
Sadeng, 8 Juni 2016
Deden M Makhyaruddin

Posted from WordPress for Android


Tinggalkan komentar